GUBUK AJAIB AJI GENDHING

Di sebuah desa kecil bernama Wanapraja, hiduplah seorang pemuda sederhana bernama Aji Gendhing. Selain sederhana, Aji Gendhing juga dikenal ramah, sopan, baik hati, dan ringan tangan. Para tetangga sangat menyukainya.

 Aji hidup sebatang kara setelah kepergian ayahnya. Kini Aji tinggal seorang diri menempati gubuk kecil peninggalan ayahnya itu. Gubuk itu sederhana namun saat orang-orang memasukinya terasa sangat damai di hati mereka. Siapapun  yang memasuki gubuk itu, pada saat keluar dari gubuk akan berubah menjadi orang yang lembut hati. Itulah sebabnya gubuk Aji Gendhing sering didatangi oleh para tetangga ataupun oleh para pengembara yang kebetulan melewati desa itu. Mereka sepakat menamai gubuk itu dengan sebutan gubuk ajaib.
Gubuk ajaib Aji Gendhing ini termashyur hingga keluar desa. Kemashyurannya sampai ke telinga Raja Ayangga, penguasa kerajaan Gumirang,  dan hal itu membuatnya penasaran. Raja yang terkenal suka menaklukkan kerajaan lain itu ingin membuktikan kebenaran gubuk ajaib. Tak mungkin ada gubuk yang bisa mengubah hati seseorang, pikirnya.
Dengan menyamar sebagai rakyat jelata, Raja Ayangga memulai perjalanannya. Meski berpakaian sederhana layaknya seorang pengembara, tapi sifatnya sebagai raja yang biasa dihormati, tak bisa disembunyikannya. Kemarahannya mudah sekali tersulut bila kemauannya tidak terpenuhi atau ada hal yang membuatnya jengkel sepanjang perjalanan menuju Desa Wanapraja.
Raja Ayangga sampai di desa saat hari mulai sore. Setelah bertanya kepada penduduk sekitar, akhirnya sampailah ia di depan gubuk milik Aji Gendhing. Gubuk kecil seperti ini apanya yang ajaib, sungutnya sambil menyeka keringat.

“Ada tamu rupanya. Mari silakan masuk di gubuk kecil ini,” kata Aji Gendhing ramah.

Raja Ayangga ragu untuk  melangkahkan kakinya. Ia tidak terbiasa tinggal di tempat kecil seperti ini.

“Maaf, gubuk saya kecil, namun cukup nyaman untuk bermalam disini. Mengingat hari sudah mulai gelap dan jalan di desa ini masih dikelilingi hutan serta jurang, sangat berbahaya bila melakukan perjalanan di malam hari. Beristirahatlah semalam disini,” lanjut Aji Gendhing.

gubug
“Baiklah,” sahut Raja Ayangga.
Begitu melangkahkan kaki masuk ke dalam gubuk itu, terasa ada aliran hangat yang menjalar di dalam tubuhnya yang kekar namun mulai renta itu. Raja Ayangga terkejut dan terkesima merasakannya. Aliran aneh yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Nuansa damai dan sejuk memenuhi hatinya.
Aji Gendhing dengan cekatan mempersiapkan makan malam sederhana untuk tamunya itu. Mereka berdua menyantapnya. Raja Ayangga yang terbiasa hidup mewah di istana disuguhi hidangan khas desa, namun anehnya semua terasa begitu nikmat di lidahnya hingga semua habis dilahap tak bersisa. Aji Gendhing pun gembira melihat tamunya yang terlihat kerasan tinggal di gubuknya.
Waktu semalam saja yang direncanakan Raja Ayangga untuk membuktikan kebenaran berita tentang gubuk itu berubah. Raja sangat betah tinggal disitu. Raja merasakan ada perubahan dalam dirinya dan itu membuatnya semakin penasaran dengan gubuk itu.
Pada malam ketiga semenjak Raja Ayangga datang, saat tengah malam bulan purnama penuh, Aji Gendhing bangun dari tidurnya. Diambilnya sebuah peti kayu kecil tua di bawah tempat tidurnya. Dibawanya keluar ke halaman belakang rumahnya. Ada sebuah benda yang dikeluarkan dari peti itu. Diletakkannya dengan sangat hati-hati dan dengan penuh hormat Aji Gendhing melakukan ritual doa-doa kepada Sang Hyang Widhi.
Raja Ayangga yang terbangun karena haus, tak sengaja melihat ritual itu dan mengamati Aji Gendhing dengan diam-diam. Sontak terkejutlah ia demi melihat benda yang ada di dalam peti kayu itu! 
Aji Gendhing telah selesai dengan ritualnya kemudian masuk ke dalam. Terkejutlah ia saat dilihatnya Raja Ayangga sedang duduk dengan wajah gelisah.
“Kisanak, adakah yang mengganggu pikiran sehingga tidak dapat tidur?” tanya Aji Gendhing.
Sambil menghela napas, Raja Ayangga berkata terus terang, “Aji Gendhing, dari mana kau dapatkan batu hijau berhias kelopak teratai itu? Batu yang melambangkan kedamaian.”
Tak menyangka, terkejut Aji Gendhing mendapat pertanyaan seperti itu. Selama ini rahasia itu disimpannya rapat-rapat tapi malam ini rahasianya terbongkar oleh tamu asingnya. Hei, tapi tentunya dia bukan orang sembarangan bila mengetahui benda yang dipegangnya itu adalah batu lambang kedamaian, pikir Aji Gendhing mulai waspada.

“Maaf, Kisanak, darimana Kisanak bisa tahu kalau batu itu melambangkan kedamaian?” tanya Aji Gendhing.

“Tahukah kamu, aku sebenarnya adalah Raja Ayangga yang sedang menyamar, dan batu itu adalah batu pusaka lambang kerajaan Gumirang yang telah lama hilang. Jawab dengan jujur  pertanyaanku tadi atau kamu akan mendapat hukuman!” kata Raja Ayangga berwibawa namun tiada kemarahan dalam kata-katanya.
“Ampun Yang Mulia Raja, hamba bukan mencurinya. Hamba Aji Gendhing, rakyat jelata yang tidak berani berbuat dosa. Batu ini peninggalan ayahanda hamba dan sebelum wafat beliau berpesan untuk terus melakukan ritual itu tiap bulan purnama.” jawab Aji Gendhing ketakutan.

“Ayahmu? Siapa namanya? Darimana ia mendapatkannya?”

“Ayahanda bernama Arungga, Yang Mulia. Menurut cerita ayahanda, batu itu dibawanya saat kediamannya diporak-porandakan musuh. Ibunda sedang mengandung hamba saat itu. Ayahanda menyelamatkan ibunda, lari hingga ke desa ini. Disinilah hamba dilahirkan.”

“Arungga? Dan ibumu bernama Dewi Arumwati?” cecar Raja Ayangga sambil mengguncang bahu Aji Gendhing.

“Be…benar, Yang Mulia. Bagaimana Yang Mulia bisa tahu?”

“Kemenakanku…” kata Raja Ayangga sambil memeluk erat Aji Gendhing.

Aji Gendhing kebingungan, “Apa maksudnya, Yang Mulia?”

Sambil melepaskan pelukannya dan memegang bahu Aji Gendhing, Raja Ayangga mulai bercerita.

“Sebenarnya istana lah yang diserang waktu itu. Ayahmu, Arungga, beliau adalah kakakku, raja Gumirang saat itu. Aku sedang pergi ke kerajaan tetangga dan saat kembali keadaan istana sudah porak-poranda. Ayah dan ibumu hilang tanpa berita, termasuk batu pusaka lambang kerajaan yang kukira jatuh ke tangan musuh.”
“Batu itu adalah batu berkah. Siapapun yang memiliki batu itu akan menjadi penguasa yang hebat. Itulah sebabnya batu itu banyak diincar. Ayahmu menjadi raja yang bijaksana dan dapat membawa kemakmuran bagi kerajaan Gumirang karena rajin melakukan ritual menyembah Sang Hyang Widhi.”
“Kejadian itu membuat aku ingin membalas dendam pada para penyerang untuk mengembalikan kejayaan kerajaan Gumirang lagi. Sejak saat itu aku berubah menjadi raja yang suka berperang dan menaklukkan kerajaan lain, penuh amarah dan nafsu dengan tujuan semata hanya untuk mengembalikan batu itu ke kerajaan. Namun hingga sekarang aku belum menemukannya, sampai malam ini terjawab sudah semuanya. Itulah mengapa semenjak memasuki gubuk ini, semua perasaan amarah dan napsu itu menghilang berganti dengan kedamaian. Ternyata karena ada batu kedamaian di gubuk ini.”

“Paman, terimalah sembah sujud kemenakanmu yang tidak tahu diri ini,” sembah Aji Gendhing pada Raja Ayangga.

“Berdirilah, Nak,” kata Raja Ayangga, lalu lanjutnya, “Kalau paman boleh tahu, doa apa yang kau panjatkan dalam ritual itu, Aji?” tanya Raja Ayangga.

“Ayahanda berpesan agar hamba memanjatkan doa bagi kemakmuran dan kesejahteraan kerajaan Gumirang,” jawab Aji Gendhing.

“Betapa bahagianya aku menemukan keturunan kakakku, pewaris sah tahta kerajaan. Gagah, tampan dan bijaksana seperti ayahmu. Pantas menjadi raja selanjutnya.” kata Raja Ayangga bangga.

“Kembalilah ke istana. Bawalah serta lambang kerajaan itu dan pimpinlah dengan bijaksana. Paman sudah terlalu tua dan ingin menenangkan diri dari urusan duniawi. Paman yakin kau bisa memimpin dengan baik seperti ayahmu dulu yang sangat dicintai rakyatnya.”

“Tapi, Paman, aku tidak punya pengalaman dan tidak ingin menjadi raja.”

“Aji Gendhing, darah raja telah mengalir dalam tubuhmu. Engkau ditakdirkan menjadi raja. Jangan kecewakan kedua orang tuamu yang ingin membawa kemakmuran bagi rakyatnya. Melalui engkau cita-cita mereka akan terwujud. Paman akan membimbingmu, setelah kau mampu, Paman akan mengasingkan diri.”

“Baiklah, Paman, hamba mohon restu,” sembah Aji Gending lagi.

Aji Gendhing akhirnya menjadi raja menggantikan Raja Ayangga di Kerajaan Gumirang. Dengan kebaikan hatinya dan kembalinya batu pusaka lambang Kerajaan Gumirang, Aji Gendhing memimpin kerajaan dengan bijaksana. Rakyat hidup makmur dan damai. ***Susan T

Leave a Reply