Hujan Sore Ini
Hujan sore ini…
Aroma tanah kering musim panas yang tetiba diguyur hujan deras kembali menarik ingatanku ke masa puluhan tahun lalu. Aroma khas yang sama ketika sebuah payung biru tiba-tiba melindungiku dari amukan hujan. Gadis bermata bulat itu bagai malaikat bagiku. Baju seragamku selamat meski sedikit basah.
Areta, teman sekelas yang diam-diam kusukai. Tak pernah sedikitpun kami berbincang di sekolah. Kehadirannya dengan payung birunya bagai oase di hatiku. Berjalan berdua dalam hujan meski tanpa bicara. Lidahku kelu saat berdekatan denganmu. Hanya ucapan terima kasih saat kau mengantarku hingga tempat kos dan kau pun tersenyum manis dan berlalu.
Sayang kita tak bisa berlama-lama berteman. Kesalahanku membuatku harus keluar dari sekolah ini. Ya, cap anak nakal terlanjur melekat di dahiku. Meski sebenarnya tidak begitu. Ah, biarlah…
Sebelum berpisah kuutarakan niat hatiku. Kau menolak dengan alasan ingin sekolah dulu. Kutinggalkan kota ini namun tidak dirimu. Kau selalu lekat di pikiranku. Tapi waktu tak pernah berjodoh. Atau aku yang terlalu merasa kecil bagimu? Hingga aku tak berani menemuimu lagi.
Kini aku sudah punya dua malaikat cantik. Keberanianku untuk menghubungimu baru muncul. Kau tetap seperti dulu. Hangat. Tak pernah menganggapku remeh.
Satu yang kusesali. Dari sahabatku, baru kutahu ternyata selama itu kau menungguku. Kau menungguku datang lagi setelah lulus. Andai tekadku sebesar rasa sayangku. Aku telah kalah oleh sebuah penolakan.
Hujan sore ini…
Hanya bisa kukenang dirimu untuk mengobati penyesalanku.***