MATHILDA DAN PANGERAN TOBI
Hari terus berlalu. Nenek tua itu akhir-akhir ini sering sakit-sakitan. Tak ada tetangga yang mau merawatnya. Mereka semua takut, bila diperhatikan nenek tua itu akan menjadi manja dan bergantung pada mereka karena desa mereka adalah desa yang miskin. Tak ada satupun yang peduli, kecuali seorang anak perempuan yatim piatu yang sangat cantik. Karena merasa nasibnya sama seperti nenek tua sebatang kara itu, gadis cantik itu mau merawat sang nenek.
Hari demi hari kesehatan nenek semakin memburuk. Dengan sisa-sisa tenaganya, perlahan nenek tua berkata kepada gadis cantik itu, ”Mathilda, tadi malam nenek bermimpi aneh sekali. Nenek melihat sebuah bunga yang sangat cantik, berwarna keperakan dan tumbuh di celah-celah tebing yang snagat tinggi. Tebing itu sepertinya mirip dengan tebing yang ada diujung desa kita itu. Nenek ingin sebelum menemui ajal, nenek bisa melihat bunga itu.”
Mathilda terkejut mendengar permintaan si nenek namun ia tidak ingin mengecewakannya, terlebih permintaan itu merupakan permintaaan terakhirnya. Mathilda ingin membahagiakan nenek disaat-saat terakhirnya. Oleh karena itu dengan mantap Mathilda berkata, “Baiklah Nek, akan Mathilda cari bunga itu. Besok pagi Mathilda akan berangkat ke tebing itu.”
Nenek tua itupun tersenyum bahagia mendengar jawaban Mathilda.
Malam itu Mathilda tidak dapat tidur. Ia bingung sekali apa yang harus dilakukannya. Meminta tolong tetangga-tetangganya tentu saja tidak akan ada yang mau. Jangankan menuju tebing yang curam dan berbahaya itu, menjenguk dan memberi makan saja mereka tidak mau.
Karena tidak dapat tidur, Mathilda akhirnya turun dari pembaringan dan berjalan keluar. Di luar dilihatnya anjing kecil itu sedang berbaring. Dihampiri dan dibelai-belainya tubuh anjing itu sambil bergumam, “Tobi yang manis, engkau tentu tahu kegelisahan hatiku. Tapi aku akan tetap berusaha meski permintaan nenek tidak masuk akal. Besok pagi-pagi aku akan ke tebing itu. Jagailah nenek selama aku pergi. Engkau mengerti?”
Anjing kecil bernama Tobi itu seolah mengerti yang diucapkan Mathilda dan menggoyang-goyangkan ekornya.
Keesokan harinya, pagi-pagi buta Mathilda telah bersiap menuju tebing di ujung desa. Sambil membawa perlengkapan seadanya, Mathilda segera berjalan cepat menembus dinginnya kabut pagi. Beberapa kali dijumpainya penduduk desa yang hendak pergi ke hutan untuk menebang kayu. Mereka memandang sinis ke arahnya. Ada juga yang hanya berbasa-basi menegurnya. Namun setiap kali Mathilda menjawab hendak kemana, mereka lalu menertawainya.
Bisik-bisik mereka terdengar oleh Mathilda. Mathilda bodoh, mau-maunya merawat nenek tua yang sakit-sakitan itu. Orang lain berkata lain lagi. Mathilda hanya mencari muka pada nenek itu, toh kalau sudah mati dia juga tidak akan mendapatkan apa-apa karena nenek itu juga miskin. Sedih hati Mathilda mendengar semua itu. Ia tidak pernah berharap ia akan mati ataupun mendapatkan warisan. Ia merawatnya dengan tulus ikhlas.
Semakin dipercepatnya langkahnya agar segera berlalu dari orang-orang itu. Dingin yang menusuk tak dihiraukannya. Mathilda ingin segera bisa mendapatkan bunga itu. Tiba-tiba ia merasa ada yang mengikuti. Ditengoknya ke belakang dan terkejutlah ia ketika dilihatnya Tobi, si anjing kecil, diam-diam mengikutinya. Dihalaunya anjing itu agar kembali ke rumah namun anjing itu seolah ingin membantu Mathilda mencari bunga permintaan nenek. Akhirnya dengan berat hati karena khawatir akan keadaan nenek, Mathilda memperbolehkan Tobi mengikutinya.
Hari hampir siang ketika mereka sampai di tebing itu. Diamatinya dengan teliti setiap celah yang ditumbuhi semak-semak. Sampai hari menjelang petang Mathilda belum melihat bunga itu. Ia hampir putus asa. Tetapi kemudian Tobi menyalak-nyalak mengejutkannya. Dikiranya ada ular yang akan mengganggu. Segera dihampirinya Tobi dan alangkah terkejutnya ketika dilihatnya Tobi telah menemukan bunga itu.
Takjub Mathilda melihatnya. Bunga itu sungguh indah.benar seperti apa yang dikatakan nenek. Bunga itu berwarna keperakan. Pantas sedari tadi aku tidak menemukannya, batin Mathilda. Karena ternyata bunga itu hanya akan berubah warnanya menjadi keperakan bila tertimpa cahaya matahari yang hendak tenggelam.

Mathilda yang ingin segera sampai di gubuk nenek tidak menyadari bahaya yang mengintainya. Langkahnya tiba-tiba terhenti demi dilihatnya tiga orang berbadan besar yang ternyata diam-diam mengikutinya dari belakang, menghadang di depannya. Mathilda terkejut dan tidak sempat memutar mencari jalan lain. Mereka hendak merampas bunga yang dibawa Mathilda. Dengan sekuat tenaga dipertahankannya bunga itu. Satu dari ketiga orang tersebut kemudian maju mencoba mendorong Mathilda agar jatuh dari tebing. Mathilda memejamkan mata, hanya bisa pasrah tak berdaya menghadapi ketiga orang itu. Dia sangat sedih karena tidak dapat memenuhi keinginan terakhir nenek.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan keras. Mathilda terkejut dan membuka mata. Dilihatnya ketiga orang tadi telah rubuh di tanah dan mengaduh kesakitan. Lebih terkejut lagi ketika dilihatnya seorang pangeran yang sangat tampan dan tubuhnya bersinar yang telah mengalahkan mereka.
Dengan suara yang sangat lembut pangeran itu berkata, “Segeralah pulang temui nenek. Berikan bunga itu kepadanya karena waktunya sudah tidak lama lagi. Biarlah orang-orang jahat ini aku yang mengurusnya.”
Mathilda segera mengucapkan terima kasih dan berlari menuju gubuk nenek. Tiba-tiba ia tersadar, Tobi tidak ada di dekatnya. Dalam kepanikannya, Mathilda hanya bisa memanggil-manggil Tobi. Dia tidak bisa mencarinya karena nenek sedang menunggunya.
Akhirnya sampailah Mathilda di gubuk. Segera diletakkannya bunga perak itu di tangan nenek. Matanya yang terpejam lalu terbuka dan bibirnya tersenyum. Sesaat kemudian Tobi pun datang. Mereka berdua duduk di sampingnya. Nenek yang sudah tidak dapat bergerak itu lalu mengucapkan kata-kata terakhirnya.
“Mathilda, engkau anak yang baik. Engkau rela bersusah payah demi nenek yang bukan siapa-siapa ini. Jasamu sungguh tak terbalas. Nenek tidak dapat memberimu apa-apa, Nak. Tapi nenek akhirnya lega ada yang bisa merawat Tobi. Nenek berikan Tobi kepadamu. Nenek percaya pasti engkau akan menyayanginya.”
Lalu lanjut nenek, “Dan kau, Tobi, jaga dan sayangilah Mathilda seperti engkau menyayangiku.”
Setelah berkata demikian, ia menghembuskan napas terakhir dan pergi untuk selamanya. Namun bibirnya menyunggingkan senyum yang sangat cantik.
Kemudian sinar keperakan bunga yang ada dalam genggamannya itu berpendar dan menyelimuti seluruh tubuh nenek. Tubuhnya terbang bersama cahaya itu. Namun dalam cahaya itu bukanlah nenek tua yang tampak melainkan seorang puteri yang sangat cantik jelita dan lembut.
Seketika itu juga cahaya menyelimuti seluruh gubuk. Dan terkejutlah Mathilda setelah cahaya itu lenyap, dilihatnya pangeran tampan yang tadi menyelamatkannya telah berdiri di hadapannya.
“Jangan takut, Mathilda. Aku adalah Tobi, si anjing kecil. Nenek tua itu sebenarnya adalah ibuku. Kami berdua dikutuk oleh penyihir jahat yang menguasai kerajaan kami setelah membunuh ayahanda. Kami hanya bisa kembali ke wujud semula bila saat ibunda wafat menggenggam bunga perak itu di dalam tangannya.”
“Kau telah merawat kami dengan penuh kasih, bahkan hampir saja mati demi menemukan bunga itu. Karena kasihmu yang tulus, kami dapat kembali ke wujud semula. Terima kasih, Mathilda. Dan kini aku akan menunaikan tugas terakhir dari ibunda, yaitu menjaga dan menyayangi engkau selamanya.”
Keduanya lalu tersenyum. Akhirnya mereka menikah dan para penduduk desa yang dulu jahat kepada mereka takluk dan mengangkat Pangeran Tobi menjadi raja.di bawah kepemimpinannya yang bijaksana, rakyat pun kehidupannya menjadi makmur, tidak miskin lagi seperti dulu. Pangeran Tobi dan Putri Mathilda pun hidup berbahagia selamanya.***Susan T